Kamis, 29 November 2012

Telaah Kembali Surat Abasa



BAB I
A.   Prolog
Muhammad adalah sosok manusia sempurna, sosok manusia paling mulia, banyak literature arab menggambarkan wajah beliau  bercahaya bagaikan bulan purnama di malam gulita. Kalau matahari tercipta untuk menerangi bumi dan seisinya maka beliau tercipta untuk menerangi kegelapan jiwa dari penduduk bumi tersebut. Beliau adalah manusia biasa seperti manusia lain pada umumnya namun kualitas serta kapasitasnya sangat jauh berbeda. Sering Allah SWT menyanjung ketinggian akhlaq beliau melalui firmannya, di antaranya adalah firmanNya yang berbunyi;
وَاِنَّكَ لَعَــلَى خُــلُقٍ عَظِــــيْمٍ
“sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung” (QS 68:4)
Dari segi pemilihan kata dalam ayat tersebut, coba kita perhatikan mengapa Allah menggunakan kata  خُلُقْ ? Secara linguistik kata  خُلُقْ (akhlak) mempunyai akar kata yang sama pengertiannya  dengan kata خَلَقْ,  yaitu ciptaan, namun kata خَلَقْ lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, sedang kata خُلُقْ  adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah dan spiritual. Ini menunjukan bahwa Muhammad bukan hanya dzahirnya saja yang tercipta sempurna, tapi juga batinnya. Sebagian sahabat juga pernah memuji beliau dengan kalimah berikut  
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقا وَخُلُقا
“bahwa Rasulullah Saw adalah paling baiknya manusia  penciptaannya dan akhlak(budi pekerti)nya”.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad Saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniahnya.
Para tokoh dunia tidak ketinggalan juga untuk mengakui kemuliaan akhlak beliau, bahkan dari serarus tokoh dunia, beliau termasuk dalam urutan pertama tokoh ideal.  Diantara orang yang mengaguminya adalah MAHATMA GANDHI, seorang tokoh besar india. Ia berkomentar;
    “Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh dunia yang paling mempengaruhi manusia? Jawabanya adalah Muhammad SAW. Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran dan kejayaan Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian, serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Dan yang terlebih lagi adalah budi pekertinya yang begitu mulia terhadap sahabatnya, orang yang memusuhinya, dan semua orang yang ada di sekitarnya”.  Dan pada bagin terakhir komentarnya Mahatma Gandi  menambahkan;  “sampai saat ini saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya (Muhammad) yang agung, yang memepunyai akhlak seperti beliau”.[1] 
LAMAR TINE, seorang tokoh terkemuka perancis, juga berkomentar “Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang – semua menjadi satu. Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupannya, hanya dengan kepribadian seperti beliaulah keagungan seperti ini dapat diraih.”[2]

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah kronologis turunnya surah ‘abasa ?
2.    Benarkah yang dimaksud bermuka masam dan berpaling dalam surah ‘abasa adalah nabi Muhammad ?
3.    Ataukah yang bermuka masam dan berpaling justru orang lain yang bersama Nabi Muhammad saat itu?
C.   Tujuan Masalah
Memahami kronologis turunnya surah ‘abasa dan mengetahui sasaran yang menjadi objek dalam surah tersebut dengan berdasarkan literature yang ada.














BAB II
A.   Pembahasan

* اَوْيَذَّكَّرُ  فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى     * وَمَا يُدْ رِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى الْأَعْمَى هُ اَنْ جَاءَ *وَتَوَلَّى عَبَسَ
 اَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى* فَاَنْتَ لَهُ تَصَدَّى* وَمَا عَلَيْكَ اِلَّا يَزَّكى
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah  datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri(beriman) " (QS:Abasa-80: 1)
Surah ini termasuk kelompok surah Makkiyah. Surah ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa seorang  buta miskin yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum - anak paman Siti Khadijah-. Beliau termasuk di antara sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama memeluk Islam. Ketika Nabi saw melaksanakan jihad dan hijrah ke kota Madinah beliau selalu ikut serta. Beliau juga sering ditunjuk oleh Nabi saw untuk menjadi sesepuh kota Madinah mengimami shalat dan melakukan adzan seperti Bilal setelah ia memeluk islam.
Kronologis turunnya surah ‘Abasa ini dipicu oleh suatu peristiwa Ketika beliau -Nabi Muhammad SAW- sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy untuk seruan dakwahnya dimana saat itu yang hadir adalah 'Utbah dan Syaibah dua putranya Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, 'Abbas bin Abdul Mutalib, Umaiyah bin Khalaf dan Al Walid bin Mugirah. Pada kesempatan ini Rasul sangat berharap sekali mereka mau masuk islam, karena melihat kedudukan dan martabat mereka begitu berkuasa tentu akan bembawa pengaruh besar terhadap orang-orang bawahannya. di tengah- tengah asyiknya perbincangan itu, tiba-tiba datang Abdullah bin Ummi Maktum menyela pembicaraan Rasul SAW. dengan sebuah permintaan: "Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu" permintaan itu sampai diulangi beberapa kali sedang ia tidak menyadari bahwa Rasul saw saat itu sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Akhirnya Rasul merasa terusik dan bermuka masam kemudian berpaling dari padanya. Karena sikapnya itulah rasul kemudian ditegur oleh Allah SWT. dengan diturunkan ayat Abasa watawalla.,
Yang menjadi tanda tanya besar di benak penulis sampai saat ini adalah; Benarkah ayat tersebut ditujukan kepada Rasul? Apakah mungkin seorang Rosul yang diutus sebagai rahmat bagi umat manusia malah bersikap tak acuh terhadap mereka? Apa iya seorang Rasul yang diutus sebagai penyempurna akhlak malah bermuka masam dan berpaling saat datang umatnya yang ingin beriman dan mendapatkan petunjuk darinya? Tidak kah semua ini bertentangan dengan sanjungan Allah sendira terhadap kemuliaan dan keagungan akhlak Rasau SAW;
 وَاِنَّكَ لَعَــلَى خُــلُقٍ عَظِــــيْمٍ
“sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung” (QS 68:4) ?. Bahkan dalam ayat lain Allah bersumpah;
 وَالنَّجْمِ اِذَا هَوَى * مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى * وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى
 “Demi bintang apabila terbenam, tidaklah sesat sahabat kamu itu (Muhammad) dan tidak keliru,dan tiadalah yang di ucapkannya itu(al-quran) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)” (QS, Annajm; 53:1-4).
Selain itu, Kehadiran Rasul di muka bumi ini bukan sekedar memberikan  contoh tapi lebih dari itu menjadi contoh bagi umatnya, sebagaimana Allah SWT. menjelaskan,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةً لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ الْاَخِرِ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut  Allah.” (QS; Al-ahzab, 33:21).
Mungkin anda bertanya, Lantas kalau bukan kepada Rasul, lalu kepada siapa ayat tersebut ditujukan ?

B. Telaah kembali surah ‘Abasa
Mari kita telaah kembali pengertian ayat tersebut.
     "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah  datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri(beriman) " (QS:Abasa-80: 1)
Kata عَبَسَ  mempunyai masdar (kata dasar)  عَبْسًا   atau  عُبُوْسًا  yang artinya adalah cemberut, merengut[3] atau bermuaram, bermuka masam[4]. Dalam ayat tersebut Al-Qur’an samasekali  tidak memberikan keterangan apapun bahwa yang bermuka masam kepada orang buta adalah Rasul SAW. dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Lebih dari itu terjadi perubahan kata benda dari “dia” dalam dua ayat pertama kepada ” engkau” dalam ayat-ayat terakhir dalam surat tersebut. Allah tidak menyatakan “Engkau bermuka masam dan berpaling”, tapi menyatakan, ” Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa,”(QS 80:1-3)
Nabi Muhammad SAW. Adalah sosok makhluk paling sempurna  akhlaknya, ia ditugaskan untuk membagi sebagian kesempurnaannya itu kepada umatnya, hal ini terbukti dengan sabdanya yang berbunyi;
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“ aku diutus untuk menyempurnakan akhlak  yang mulia”
Kalau memang bermuka masam dan berpaling yang dimaksud dalam ayat tersebut ditujukan kepada Rasul, lantas dimana posisi bahwa Rasul sebagai makhluk paling sempurna yang ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak dalam pengertian hadits di atas ? Sebagai sosok penyempurna akhlak, pastinya beliau sudah menjadi yang paling sempurna akhlaknya, bagaimana mungkin seorang berseru agar orang lain memperbaiki akhlaknya sementara ia sendiri masih belum bisa memperbaiki akhlaknya sendiri. Anda yang masih mempunyai logika sehat  tentu akan merasa kecewa ketika mendatangi seseorang karena suatu keperluan ternyata kita mendapatkan pelayanan yang kurang baik darinya. Kalupun Rarasul termasuk manusia biasa yang tidak lepas dari sifat-sifat kemanusiaan, sebagaimana yang telah diformulasikan oleh Al Imam Abu Hasan Al-Asy’ari RA dan Al-Imam Abu Mansur Al Maturidi RA;

اَلْاَعْرَاضُ الْبَشَرِيَّةُ الَّتِيْ لَا تُؤَدِّيْ اِلَى نَقَصٍ فِي مَرَاتِبِهِمُ الْعَلِيَّةْ
“Para Rasul itu juga punya sifat kemanusiaan yang tidak sampai mengurangi tingginya martabat mereka”
Bahwa para Rasul itu mempunyai sifat-sifat kemanusiaan seperti manusia biasa pada umumnya seperti makan, minum, sakit, senang, susah, kadang juga bisa ‘khilaf’ dan lain sebagainya. Tetapi semua itu hanya terbatas pada sifa-sifat atau sikap kemanusiaan yang tidak sampai menurunkan martabatnya sebagai Utusan,  karena beliau adalah ma’sum( dilindungi dari perbuatan dosa) dan apapun yang diucapkan serta yang diperbuat Rasul bukan atas dasar hawana nafsu belaka melainkan wahyu dari Allah SWT.[5] Hati beliau (Nabi Muhammad SAW) adalah paling bagus serta paling suci karena sejak beliau masih kecil malaikat jibril datang mengambil hatinya, lalu dibersihkannya dari kotoran dan nafsu setan kemudian dimasuki cahaya keimanan dan al-quran.[6] Bahkan Imam ‘Alî bin Abi Thalib kw, se-pupu sekaligus menantu beliau dan termasuk orang yang tidak pernah kafir seumur hidupnya, pernah berkata dalam khutbahnya tentang pribadi Rasul SAW; “Beliau tidak pernah berbohong dalam ucapannya terhadapku, dan tidak pernah pula salah dalam tindakannya. Sungguh Allah telah menyertakan malaikat yang paling mulia bersama beliau, sejak beliau disapih, untuk berjalan dengannya di atas jalan-jalan kemuliaan dan keluhuran-keluhuran akhlak, baik siang maupun malam”. Dengan demikian nabi telah disterilkan dari sifat dan sikap yang dapat merugikan orang lain. Termasuk dalam pembahasan ini adalah bermuka masam dan berpaling. Sungguh hal itu sangat tidak mungkin terjadi pada nabi apalagi terhadap orang yang jelas-jelas mendapat petunjuk untuk masuk islam.
Allamah Thabathaba’i (Sayyed Muhammad Husain at-Thabathaba’i, penulis kitab tafsir al-Mîzân fî Tafsîri al-Qur’ân, lahir pada tahun 1892 di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, Iran) memberi komentar mengenai Ayat diatas(‘Abasa), bahwa ayat ini sama sekali tidak mempunyai indikator yang kuat (dzahirat) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. ayat ini hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk).
sebelum surah ini (surah Abasa) turun, Allah SWT telah mengagungkan akhlak Beliau  sebagaimana firmanya dalam surat Nun ayat:4
وَاِنَّكَ لَعَــلَى خُــلُقٍ عَظِــــيْم
“sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung” (QS 68:4)
 Mayoritas ulama sepakat bahwa surah ini diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq) disusul kemudian surah Abasa. Secara logika masak mungkin Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya kemudian  setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela, bahkan  dinyatakan beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya walaupun kafir daripada  kaum fakir walaupun beriman dan memperoleh hidayah.
Dalam surah lain Allah swt juga berfirman:
وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ * وَاحْفِظْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu`ara’: 214-215)
 Allah memerintahkan beliau agar memberikan peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatnya, termasuk dalam konteks ini adalah Abdullah bin Ummi Maktum karena dia masih mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah; yaitu putra paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid ra, istri beliau. Selain itu, beliau juga diperintah untuk bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, bukan malah cemberut apalagi berpaling. Ayat-ayat ini turun di permulaan dakwah secara terang-terangan, sehingga bagaimana mungkin kita membayangkan bahwa Nabi saw bermuka masam dan berpaling dari kaum mukmin di saat islam masih baru ‘naik daun’. Akan tetapi beliau harus menampakan sikap hormat dan lemah lembut terhadap mereka demi kelancaran misi dakwahnya, serta beliau dilarang untuk terpikat dengan kekayaan para penyembah dunia (harta).
C. Analisa terhadap ayat ‘Abasa
Mari kita coba analisa sbabul wurud dari hadits yang menjelaskan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat ‘Abasa adalah Nabi Muhammad SWA. Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan;
“Diriwayatkan dari Sa`id bin Yahya bin Sa`id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya (Urwah bin Zubair), dari Aisyah ra. Berkata: Diturunkan tentang Ibnu Ummi [i]Maktum yang buta, dia (Ibnu Ummi Maktum) mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: ‘Berilah aku petunjuk!’ saat itu Rasulullah saw sedang bersama pembesar kaum musyrik, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan menghadap pada yang lain (pembesar kaum musyrik). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: ‘Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak.’ Dalam peristiwa ini turunlah surah Abasa.
Berikuat adalah analisa dan tanggapan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw :
1.    Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadits ini tidak muttafaqun  alaih (yang disepakati oleh keseluruhan).
2.    Asbabun nuzul ayat tersebut simpang siur, yakni:
a)             Delegasi Bani Asad datang menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu     Ummi Maktum.
b)            Sebab turunnya, al-A`la bin Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, ‘Apakah ia dapat membaca al-Quran?’ Kemudian ia menjawab, ‘Ya, dan membaca surah Abasa.’
c)              Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah saw.
        Dalam hadis tersebut terdapat para perawi sebagai berikut:
a) Yahya bin Sai`d.
b) Urwah bin Zubair (ayah Hisyam).
c) Hisyam bin Urwah.
d) Ummul Mukminin Aisyah.
Berikut ini penjelasan satu persatu siapa sebenarnya para perawi tersebut
a) Yahya bin Sai`d
Dia adalah seorang penulis sejarah hidup nabi saw, namun Imam Ahmad tidak begitu mengandalkannya. Ia banyak menukil dari A`masy hal-hal yang aneh, dan ia bukan termasuk ahli hadis.[7]
b) Urwah bin Zubair
Dia termasuk orang yang berpredikat “nashibi” (orang yang membenci Ahlul-bait nabi saw). Dengan demikian, menurut Ibn Hajar al-Atsqalani, riwayat dari orang yang “nashibi” dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
c) Hisyam bin Urwah
Pada akhir hayatnya, kekuatan hafalnya memudar. Orang yang mendengar riwayat darinya berubah-ubah. Ya`qub mengatakan, dia seorang yang tsiqqah (yang dipercaya), tidak ada satu pun riwayat yang dicurigai kecuali setelah ia tinggal di kota Irak dan mengobral hadis yang ia sandarkan riwayatnya pada ayahnya, sehingga ia ditegur oleh ulama kota tersebut, oleh karenanya, Imam Malik tidak rela atau tidak setuju ia sebagai perawi hadis. Ibn Hajar al-Atsqalani menganggapnya sebagai mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya). Dengan demikian, riwayatnya tidak bisa dipercaya.
d) Ummul Mukminin Aisyah
Ayat tersebut turun di Mekkah, sedang Ummul Mukminin Aisyah ra masih kecil. Sehingga kita ragu dari mana beliau mendengar hadis tersebut.
Ath-Thabari, seorang pakar tafsir besar Ahlu Sunnah menyatakan bahwa at-Turmudzi menganggap hadis ini (hadis muka masamnya nabi saw) sebagai hadis yang aneh (hadza hadisun gharib).[8]
Al-Arif Billah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra, penulis kitab maulid Simthu Durar yang cukup terkenal di kalangan habaib di Indonesia, mengatakan: “Bila Nabi saw diundang oleh seorang miskin maka beliau segera memenuhi panggilan atau undangannya.”[9] (Idza d a`ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa cemberutnya nabi saw dan sikap yang lebih memperhatikan orang-orang kaya (bangsawan kafir) daripada seorang mukmin yang miskin adalah tidak sesuai dengan sifat beliau yang digambarkan oleh al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra.
Berdasarkan uraian di atas penulis mempunyai kecendrungan pemahaman bahwa yang dimaksud orang yang bermuka masam dan berpaling sebagaimana yang dimaksud dalam surah ‘abasa di atas bukanlah Nabi Muhammad, melainkan salah seorang pembesar qurais yang saat itu bersama beliaui. Hal ini juga di perkuat oleh pernyataan dari  Imam Ja`far ash-Shadiq, Imam Thabathaba’i  meriwayatkan bahwa surah Abasa turun menyangkut seorang dari Bani Ummayyah yang ketika itu sedang berada di sisi Nabi saw, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Ketika orang tersebut melihat Abdullah, dia merasa jijik dan terusik  olehnya, lalu ia menghindar dan bermuka masam sambil memalingkan wajah. Maka sikap orang itulah yang diuraikan oleh ayat pertama dalam surah Abasa di atas. Konon orang itu adalah Walid ibnu Mughiroh.











BAB III
penutup
Kesimpulan akhir, orang yang menghina orang buta itu bukanlah  Nabi SAW. Melainkan salah seorang pembesar quraisy yang saat itu bersama Nabi SAW. Walid ibn Mughiro. 
Jadi, kalau kita merujuk pada fakta serta bukti yang ada maka pengertian surah Abasa adalah ” Dia bermuka masam dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa,” (QS 80:1-3).
 Wallahu a’lam bisshawab


[1] Lihat Komentar mengenai karakter Muhammad, biografi Muhammad majalah YOUNG INDIA, volume 2
[2] Lihat HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp 276-277
[3]  Ahmad Warson Munawir, kamus Al-munawwir. cet: XIV,1997,  pustaka progresif,1997. surabaya
[4] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, kamus kontemporer arab-indonesia. Cet: VII, 2003, oleh, Multi Karya GrafikaPonpes Krapyak Jogjakarta
[5] Syekh Ibrahim Al-bajuri, terjemah Ibrahim al-bajura.halm. 4. Salim nabahan surabaya
[6] Syaid Muhammad Syaid Alawy bin syaid Abbas Al-maliki Al-husni, Muhammad SAW. Al-insanul Kamil, Cet:IV, Mazidah Wamunaqqah, 1990. Hal: 37
[7] Muqaddimah Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
[8] Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah wa an-Nasyr bil Qahirah, mesir 1387 H/1967 M
[9] Simthu Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23, cet, kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.






















Daftar pustaka
____________ _________ _________ _________ _
1. Al-Mizan, karya Allamah Thabathaba’i, juz 20, hal.218-224, terbitan Muassasah al-A`lamiy, Beirut, Lebanon.
2.  (Tafsir al-Misbah Volume 15, dari halaman 62 sampai 65, Cetakan V)

 3. Muqaddimah Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
4. Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah wa an-Nasyr bil Qahirah 1387 H/1967 M
5.  Simthu Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23, cet, kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.
6. almawaddah@yahoogroups.com
7. Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,”Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,”
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar