BAB
I
A.
Prolog
Muhammad
adalah sosok manusia sempurna, sosok manusia paling mulia, banyak literature
arab menggambarkan wajah beliau bercahaya bagaikan bulan purnama di malam
gulita. Kalau matahari tercipta untuk menerangi bumi dan seisinya maka beliau
tercipta untuk menerangi kegelapan jiwa dari penduduk bumi tersebut. Beliau
adalah manusia biasa seperti manusia lain pada umumnya namun kualitas serta
kapasitasnya sangat jauh berbeda. Sering Allah SWT menyanjung ketinggian akhlaq
beliau melalui firmannya, di antaranya adalah firmanNya yang berbunyi;
وَاِنَّكَ لَعَــلَى خُــلُقٍ عَظِــــيْمٍ
“sesungguhnya
engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung” (QS 68:4)
Dari segi pemilihan kata
dalam ayat tersebut, coba kita perhatikan mengapa Allah menggunakan kata خُلُقْ ? Secara
linguistik kata خُلُقْ (akhlak) mempunyai
akar kata yang sama pengertiannya dengan
kata خَلَقْ,
yaitu ciptaan, namun kata خَلَقْ lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan
fisikal, sedang kata خُلُقْ adalah ciptaan Allah
yang bersifat batiniah dan spiritual. Ini menunjukan bahwa Muhammad bukan hanya
dzahirnya saja yang tercipta sempurna, tapi juga batinnya. Sebagian sahabat juga
pernah memuji beliau dengan kalimah berikut
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اَحْسَنَ النَّاسِ
خَلْقا وَخُلُقا
“bahwa
Rasulullah Saw adalah paling baiknya manusia
penciptaannya dan akhlak(budi pekerti)nya”.
Dengan kata lain, Nabi
Muhammad Saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun
batiniahnya.
Para tokoh dunia tidak
ketinggalan juga untuk mengakui kemuliaan akhlak beliau, bahkan dari serarus
tokoh dunia, beliau termasuk dalam urutan pertama tokoh ideal. Diantara orang yang mengaguminya adalah
MAHATMA GANDHI, seorang tokoh besar india. Ia berkomentar;
“Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh dunia
yang paling mempengaruhi manusia? Jawabanya adalah Muhammad SAW. Saya lebih
dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran dan kejayaan Islam
pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian,
serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya,
keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Dan yang terlebih
lagi adalah budi pekertinya yang begitu mulia terhadap sahabatnya, orang yang
memusuhinya, dan semua orang yang ada di sekitarnya”. Dan pada bagin terakhir komentarnya Mahatma
Gandi menambahkan; “sampai saat ini saya sedih karena tiada lagi
cerita yang tersisa dari hidupnya (Muhammad) yang agung, yang memepunyai akhlak
seperti beliau”.[1]
LAMAR
TINE, seorang tokoh terkemuka perancis, juga berkomentar “Muhammad adalah
seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat
setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang
penyayang – semua menjadi satu. Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau
bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupannya, hanya dengan kepribadian
seperti beliaulah keagungan seperti ini dapat diraih.”[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah kronologis turunnya surah ‘abasa ?
2.
Benarkah yang dimaksud bermuka masam dan
berpaling dalam surah ‘abasa adalah nabi Muhammad ?
3.
Ataukah yang bermuka masam dan berpaling justru orang
lain yang bersama Nabi Muhammad saat itu?
C.
Tujuan Masalah
Memahami kronologis
turunnya surah ‘abasa dan mengetahui sasaran yang menjadi objek dalam surah
tersebut dengan berdasarkan literature yang ada.
BAB II
A.
Pembahasan
* اَوْيَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ
الذِّكْرَى * وَمَا يُدْ
رِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى الْأَعْمَى
هُ اَنْ جَاءَ *وَتَوَلَّى عَبَسَ
اَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى* فَاَنْتَ لَهُ تَصَدَّى*
وَمَا عَلَيْكَ اِلَّا يَزَّكى
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.
Karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri(beriman) "
(QS:Abasa-80: 1)
Surah
ini termasuk kelompok surah Makkiyah. Surah ini diturunkan sehubungan dengan
peristiwa seorang buta miskin yang
bernama Abdullah bin Ummi Maktum - anak paman Siti Khadijah-. Beliau termasuk
di antara sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama memeluk Islam. Ketika Nabi saw
melaksanakan jihad dan hijrah ke kota
Madinah beliau selalu ikut serta. Beliau juga sering ditunjuk oleh Nabi saw
untuk menjadi sesepuh kota
Madinah mengimami shalat dan melakukan adzan seperti Bilal setelah ia memeluk
islam.
Kronologis
turunnya surah ‘Abasa ini dipicu oleh suatu peristiwa Ketika beliau -Nabi
Muhammad SAW- sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy untuk seruan
dakwahnya dimana saat itu yang hadir adalah 'Utbah dan Syaibah dua putranya
Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, 'Abbas bin Abdul Mutalib, Umaiyah bin Khalaf dan
Al Walid bin Mugirah. Pada kesempatan ini Rasul sangat berharap sekali mereka
mau masuk islam, karena melihat kedudukan dan martabat mereka begitu berkuasa
tentu akan bembawa pengaruh besar terhadap orang-orang bawahannya. di tengah-
tengah asyiknya perbincangan itu, tiba-tiba datang Abdullah bin Ummi Maktum
menyela pembicaraan Rasul SAW. dengan sebuah permintaan: "Ya Rasulullah,
coba bacakan dan ajarkan kepadaku apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah
kepadamu" permintaan itu sampai diulangi beberapa kali sedang ia tidak
menyadari bahwa Rasul saw saat itu sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy.
Akhirnya Rasul merasa terusik dan bermuka masam kemudian berpaling dari
padanya. Karena sikapnya itulah rasul kemudian ditegur oleh Allah SWT. dengan
diturunkan ayat Abasa watawalla.,
Yang
menjadi tanda tanya besar di benak penulis sampai saat ini adalah; Benarkah ayat
tersebut ditujukan kepada Rasul? Apakah mungkin seorang Rosul yang diutus
sebagai rahmat bagi umat manusia malah bersikap tak acuh terhadap mereka? Apa
iya seorang Rasul yang diutus sebagai penyempurna akhlak malah bermuka masam
dan berpaling saat datang umatnya yang ingin beriman dan mendapatkan petunjuk
darinya? Tidak kah semua ini bertentangan dengan sanjungan Allah sendira
terhadap kemuliaan dan keagungan akhlak Rasau SAW;
وَاِنَّكَ لَعَــلَى
خُــلُقٍ عَظِــــيْمٍ
“sesungguhnya engkau (hai Muhammad)
memiliki akhlak yang sangat agung” (QS 68:4) ?. Bahkan dalam ayat
lain Allah bersumpah;
وَالنَّجْمِ اِذَا هَوَى
* مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى * وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * اِنْ هُوَ
اِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى
“Demi
bintang apabila terbenam, tidaklah sesat sahabat kamu itu (Muhammad) dan tidak
keliru,dan tiadalah yang di ucapkannya itu(al-quran) menurut kemauan hawa
nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)” (QS,
Annajm; 53:1-4).
Selain
itu, Kehadiran Rasul di muka bumi ini bukan sekedar memberikan contoh tapi lebih dari itu menjadi contoh bagi
umatnya, sebagaimana Allah SWT. menjelaskan,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةً لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ
وَالْيَوْمَ الْاَخِرِ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat
suri teladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS; Al-ahzab, 33:21).
Mungkin anda bertanya, Lantas
kalau bukan kepada Rasul, lalu kepada siapa ayat tersebut ditujukan ?
B. Telaah kembali surah ‘Abasa
Mari kita telaah kembali
pengertian ayat tersebut.
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.
Karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa). Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu
melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak
membersihkan diri(beriman) " (QS:Abasa-80: 1)
Kata عَبَسَ
mempunyai masdar (kata dasar) عَبْسًا
atau عُبُوْسًا yang artinya adalah
cemberut, merengut[3]
atau bermuaram, bermuka masam[4].
Dalam ayat tersebut Al-Qur’an samasekali tidak memberikan keterangan apapun bahwa yang
bermuka masam kepada orang buta adalah Rasul SAW. dan juga tidak memastikan
siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Lebih dari itu terjadi perubahan kata
benda dari “dia” dalam dua ayat pertama kepada ” engkau” dalam ayat-ayat
terakhir dalam surat tersebut. Allah tidak menyatakan “Engkau bermuka masam dan
berpaling”, tapi menyatakan, ” Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah
datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut)
ingin membersihkan dirinya dari dosa,”(QS 80:1-3)
Nabi Muhammad SAW. Adalah sosok
makhluk paling sempurna akhlaknya, ia ditugaskan
untuk membagi sebagian kesempurnaannya itu kepada umatnya, hal ini terbukti
dengan sabdanya yang berbunyi;
اِنَّمَا
بُعِثْتُ لِاُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia”
Kalau memang bermuka masam dan
berpaling yang dimaksud dalam ayat tersebut ditujukan kepada Rasul, lantas
dimana posisi bahwa Rasul sebagai makhluk paling sempurna yang ditugaskan untuk
menyempurnakan akhlak dalam pengertian hadits di atas ? Sebagai sosok
penyempurna akhlak, pastinya beliau sudah menjadi yang paling sempurna
akhlaknya, bagaimana mungkin seorang berseru agar orang lain memperbaiki akhlaknya
sementara ia sendiri masih belum bisa memperbaiki akhlaknya sendiri. Anda yang
masih mempunyai logika sehat tentu akan
merasa kecewa ketika mendatangi seseorang karena suatu keperluan ternyata kita
mendapatkan pelayanan yang kurang baik darinya. Kalupun Rarasul termasuk
manusia biasa yang tidak lepas dari sifat-sifat kemanusiaan, sebagaimana yang
telah diformulasikan oleh Al
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari RA dan Al-Imam Abu Mansur Al Maturidi RA;
اَلْاَعْرَاضُ
الْبَشَرِيَّةُ الَّتِيْ لَا تُؤَدِّيْ اِلَى نَقَصٍ فِي مَرَاتِبِهِمُ
الْعَلِيَّةْ
“Para Rasul itu juga punya sifat kemanusiaan yang tidak sampai
mengurangi tingginya martabat mereka”
Bahwa
para Rasul itu mempunyai sifat-sifat kemanusiaan seperti manusia biasa pada umumnya seperti makan,
minum, sakit, senang, susah, kadang juga bisa ‘khilaf’ dan lain sebagainya. Tetapi
semua itu hanya terbatas pada sifa-sifat atau sikap kemanusiaan yang tidak
sampai menurunkan martabatnya sebagai Utusan, karena beliau adalah ma’sum( dilindungi dari
perbuatan dosa) dan apapun yang diucapkan serta yang diperbuat Rasul bukan atas
dasar hawana nafsu belaka melainkan wahyu dari Allah SWT.[5]
Hati beliau (Nabi Muhammad SAW) adalah paling bagus serta paling suci karena sejak
beliau masih kecil malaikat jibril datang mengambil hatinya, lalu dibersihkannya
dari kotoran dan nafsu setan kemudian dimasuki cahaya keimanan dan al-quran.[6]
Bahkan Imam ‘Alî bin Abi Thalib kw, se-pupu sekaligus menantu beliau dan termasuk
orang yang tidak pernah kafir seumur hidupnya, pernah berkata dalam khutbahnya
tentang pribadi Rasul SAW; “Beliau tidak pernah berbohong dalam ucapannya
terhadapku, dan tidak pernah pula salah dalam tindakannya. Sungguh Allah telah
menyertakan malaikat yang paling mulia bersama beliau, sejak beliau disapih,
untuk berjalan dengannya di atas jalan-jalan kemuliaan dan keluhuran-keluhuran
akhlak, baik siang maupun malam”. Dengan demikian nabi telah disterilkan dari
sifat dan sikap yang dapat merugikan orang lain. Termasuk dalam pembahasan ini
adalah bermuka masam dan berpaling. Sungguh hal itu sangat tidak mungkin
terjadi pada nabi apalagi terhadap orang yang jelas-jelas mendapat petunjuk
untuk masuk islam.
Allamah
Thabathaba’i (Sayyed Muhammad Husain at-Thabathaba’i, penulis kitab tafsir al-Mîzân fî Tafsîri al-Qur’ân, lahir pada
tahun 1892 di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, Iran) memberi komentar
mengenai Ayat diatas(‘Abasa), bahwa ayat ini sama sekali tidak mempunyai
indikator yang kuat (dzahirat) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi
saw. ayat ini hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang
menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi
saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin
yang mendapatkan hidayah (petunjuk).
sebelum
surah ini (surah Abasa) turun, Allah SWT telah mengagungkan akhlak Beliau sebagaimana firmanya dalam surat Nun ayat:4
وَاِنَّكَ
لَعَــلَى خُــلُقٍ عَظِــــيْم
“sesungguhnya
engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung” (QS
68:4)
Mayoritas ulama sepakat bahwa surah ini
diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq) disusul kemudian surah
Abasa. Secara logika masak mungkin Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan
pengutusannya kemudian setelah itu di
sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang
tercela, bahkan dinyatakan beliau lebih
memperhatikan orang-orang kaya walaupun kafir daripada kaum fakir walaupun beriman dan memperoleh
hidayah.
Dalam
surah lain Allah swt juga berfirman:
وَاَنْذِرْ
عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ * وَاحْفِظْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS.
asy-Syu`ara’: 214-215)
Allah memerintahkan beliau agar memberikan
peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatnya, termasuk dalam konteks ini
adalah Abdullah bin Ummi Maktum karena dia masih mempunyai hubungan darah
dengan Rasulullah; yaitu putra paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid
ra, istri beliau. Selain itu, beliau juga diperintah untuk bersikap lembut
terhadap orang-orang mukmin, bukan malah cemberut apalagi berpaling. Ayat-ayat
ini turun di permulaan dakwah secara terang-terangan, sehingga bagaimana mungkin
kita membayangkan bahwa Nabi saw bermuka masam dan berpaling dari kaum mukmin
di saat islam masih baru ‘naik daun’. Akan tetapi beliau harus menampakan sikap
hormat dan lemah lembut terhadap mereka demi kelancaran misi dakwahnya, serta
beliau dilarang untuk terpikat dengan kekayaan para penyembah dunia (harta).
C. Analisa terhadap ayat ‘Abasa
Mari
kita coba analisa sbabul wurud dari hadits yang menjelaskan bahwa pelaku yang
dimaksud dalam ayat ‘Abasa adalah Nabi Muhammad SWA. Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan;
“Diriwayatkan
dari Sa`id bin Yahya bin Sa`id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam bin Urwah,
dari ayahnya (Urwah bin Zubair), dari Aisyah ra. Berkata: Diturunkan tentang Ibnu
Ummi [i]Maktum
yang buta, dia (Ibnu Ummi Maktum) mendatangi Rasulullah saw seraya berkata:
‘Berilah aku petunjuk!’ saat itu Rasulullah saw sedang bersama pembesar kaum
musyrik, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan menghadap pada yang lain
(pembesar kaum musyrik). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: ‘Apakah saya
melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak.’
Dalam peristiwa ini turunlah surah Abasa.
Berikuat
adalah analisa dan tanggapan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi
saw :
1. Imam
Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadits ini tidak
muttafaqun alaih (yang disepakati oleh
keseluruhan).
2. Asbabun
nuzul ayat tersebut simpang siur, yakni:
a)
Delegasi Bani Asad datang
menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.
b)
Sebab turunnya, al-A`la bin
Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, ‘Apakah ia dapat membaca
al-Quran?’ Kemudian ia menjawab, ‘Ya, dan membaca surah Abasa.’
c)
Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin
Ummi Maktum kepada Rasulullah saw.
Dalam hadis tersebut terdapat para
perawi sebagai berikut:
a)
Yahya bin Sai`d.
b)
Urwah bin Zubair (ayah Hisyam).
c)
Hisyam bin Urwah.
d)
Ummul Mukminin Aisyah.
Berikut
ini penjelasan satu persatu siapa sebenarnya para perawi tersebut
a)
Yahya bin Sai`d
Dia
adalah seorang penulis sejarah hidup nabi saw, namun Imam Ahmad tidak begitu
mengandalkannya. Ia banyak menukil dari A`masy hal-hal yang aneh, dan ia bukan
termasuk ahli hadis.[7]
b)
Urwah bin Zubair
Dia
termasuk orang yang berpredikat “nashibi” (orang yang membenci Ahlul-bait nabi
saw). Dengan demikian, menurut Ibn Hajar al-Atsqalani, riwayat dari orang yang
“nashibi” dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
c)
Hisyam bin Urwah
Pada
akhir hayatnya, kekuatan hafalnya memudar. Orang yang mendengar riwayat darinya
berubah-ubah. Ya`qub mengatakan, dia seorang yang tsiqqah (yang dipercaya),
tidak ada satu pun riwayat yang dicurigai kecuali setelah ia tinggal di kota
Irak dan mengobral hadis yang ia sandarkan riwayatnya pada ayahnya, sehingga ia
ditegur oleh ulama kota tersebut, oleh karenanya, Imam Malik tidak rela atau
tidak setuju ia sebagai perawi hadis. Ibn Hajar al-Atsqalani menganggapnya
sebagai mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya).
Dengan demikian, riwayatnya tidak bisa dipercaya.
d)
Ummul Mukminin Aisyah
Ayat
tersebut turun di Mekkah, sedang Ummul Mukminin Aisyah ra masih kecil. Sehingga
kita ragu dari mana beliau mendengar hadis tersebut.
Ath-Thabari,
seorang pakar tafsir besar Ahlu Sunnah menyatakan bahwa at-Turmudzi menganggap
hadis ini (hadis muka masamnya nabi saw) sebagai hadis yang aneh (hadza hadisun
gharib).[8]
Al-Arif
Billah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra, penulis kitab maulid Simthu Durar yang cukup terkenal di
kalangan habaib di Indonesia, mengatakan: “Bila Nabi saw diundang oleh seorang
miskin maka beliau segera memenuhi panggilan atau undangannya.”[9]
(Idza d a`ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah). Dari sini dapat kita
simpulkan bahwa cemberutnya nabi saw dan sikap yang lebih memperhatikan
orang-orang kaya (bangsawan kafir) daripada seorang mukmin yang miskin adalah
tidak sesuai dengan sifat beliau yang digambarkan oleh al-Habib Ali bin
Muhammad al-Habsyi ra.
Berdasarkan
uraian di atas penulis mempunyai kecendrungan pemahaman bahwa yang dimaksud
orang yang bermuka masam dan berpaling sebagaimana yang dimaksud dalam surah ‘abasa
di atas bukanlah Nabi Muhammad, melainkan salah seorang pembesar qurais yang
saat itu bersama beliaui. Hal ini juga di perkuat oleh pernyataan dari Imam Ja`far ash-Shadiq, Imam Thabathaba’i meriwayatkan bahwa surah Abasa turun
menyangkut seorang dari Bani Ummayyah yang ketika itu sedang berada di sisi
Nabi saw, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Ketika orang tersebut melihat
Abdullah, dia merasa jijik dan terusik olehnya, lalu ia menghindar dan bermuka masam
sambil memalingkan wajah. Maka sikap orang itulah yang diuraikan oleh ayat
pertama dalam surah Abasa di atas. Konon orang itu adalah Walid ibnu Mughiroh.
BAB III
penutup
Kesimpulan akhir, orang yang
menghina orang buta itu bukanlah Nabi
SAW. Melainkan salah seorang pembesar quraisy yang saat itu bersama Nabi SAW. Walid ibn Mughiro.
Jadi, kalau kita merujuk pada
fakta serta bukti yang ada maka pengertian surah Abasa adalah ” Dia bermuka
masam dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang
kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin
membersihkan dirinya dari dosa,” (QS 80:1-3).
Wallahu
a’lam bisshawab
[1]
Lihat Komentar mengenai karakter Muhammad, biografi Muhammad majalah YOUNG INDIA, volume 2
[2]
Lihat HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris,
1854, Vol. II, pp 276-277
[4]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, kamus kontemporer arab-indonesia.
Cet: VII, 2003, oleh, Multi Karya GrafikaPonpes Krapyak Jogjakarta
[5]
Syekh Ibrahim Al-bajuri, terjemah Ibrahim al-bajura.halm. 4. Salim
nabahan surabaya
[6]
Syaid Muhammad Syaid Alawy bin syaid Abbas Al-maliki Al-husni, Muhammad SAW.
Al-insanul Kamil, Cet:IV, Mazidah Wamunaqqah, 1990. Hal: 37
[7]
Muqaddimah Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat
al-Azhariyyah.
[8]
Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari
al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah
wa an-Nasyr bil Qahirah, mesir 1387 H/1967 M
[9]
Simthu Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23,
cet, kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.
Daftar pustaka
____________ _________ _________ _________ _
1. Al-Mizan, karya Allamah Thabathaba’i, juz 20,
hal.218-224, terbitan Muassasah al-A`lamiy, Beirut, Lebanon.
2. (Tafsir
al-Misbah Volume 15, dari halaman 62 sampai 65, Cetakan V)
3. Muqaddimah
Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
4. Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar
al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah wa an-Nasyr bil Qahirah 1387 H/1967 M
5. Simthu
Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23, cet,
kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.
6. almawaddah@yahoogroups.com
7. Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari
buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,”Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak
Bermuka Masam,”
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar