Rabu, 28 November 2012

Status Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Zina, Anak Hasil Inseminasi



MASAILUL FIQHIYAH
Status Anak Angkat, Anak Pungut,  Anak Zina
dan Anak Hasil Inseminasi

Dosen pembimbing:
Ujik Ahmad Faizin

Penyusun:

ARMAN COY

Fakultas Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
RADEN RAHMAT
Jl. Raya Mojosari No 02 Kepanjen Malang






BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian
Anak merupakan amanat dari Allah yang harus diperhatikan, baik kebutuhan fisiknya maupun kebutuhun ruhaniahnya. Oleh sebab itu, merawat anak itu wajib dan mendidiknya lebih wajib lagi. Islam mengganjar dengan dosa besar bagi orang-orang yang menterlantarkan  anak-anaknya, tidak diperkenalkan akhlak, tidak diperkenalkan pendidikan. Padahal seorang anak merupakan penerus generasi yang memegang peranan penting bagi eksistensi  agama serta kemajuan bangsa dan Negara. Orangtua kelak akan dimintakan pertanggungjawaban atas anak-anaknya dihapdapan Allah.

B. Fokus Penelitian
Makalah di tangan anda ini akan mengupas sekilas bagaimana Islam menyikapi berbagai macam setatus anak, mulai dari anak angakt, anak pungut, anak zina dan anak hasil inseminasi, dari segi pengertian, sumber hukum, serta pandangan para tokoh islam terhadap status sosial dan hukum menurut syariat Islam.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dibuatnya makalah ini untuk menjawab persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat kita mengenai pengertian, sumber hukum, dan  pandangan ulama  terhadap status dan hukumnya menurut ajaran islam.




BAB II
KAJIAN TEORI

A.   Anak Angkat
1.      Pengertian Anak Angkat
Anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah keturunan kedua”.[1] Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi, anak merupakan suatu karunia akibat adanya perkawinan antara kedua orang tua.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.[2]
Dari pengertian di atas, maka pengertian anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada orang tua angkat.
2.      Sumber Hukum
Dasar hukum adanya anak angkat dalam Islam adalah Surat  Al-Ahzab ayat 4 dan 5:
Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[[3]].
Berdasarkan ayat ini, maka dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
a. Adopsi dengan praktik dan tradisi di jaman Jahiliyyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam.
b. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan baik anak angkat itu diambil dari kerabat dekat maupun orang lain.[[4]]
3.         Pandangan Ulama Tentang Status Dan Hukum Anak Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanny, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnaby (orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.[5]
Yusuf Qardhawi menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tidak ada bedanya dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan dalam Islam. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi, dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan. Maka dengan alasan semacam ini lah
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang dibangsakan atau dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari shulbi-nya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada  QS. Al-Ahzab ayat 4-5 yang telah dikemukakan di atas.[6]
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.  
Adapaun masalah hukumnya, islam memperbolehkan bahkan sangat menganjurkan, sepanjang hal itu demi keberlangsungan kehidupan dan masa depan si-anak. Sebagaimana sabdah Rasul SAW mengenai pemeliharaan anak yatim:
 Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim di surga, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi) [7].
B.  Anak Pungut
1.      Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain.[5][[6]] Dalam istilah bahasa arab disebut  Laqiith, ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan bundanya. Demikian defenisi yang tercantum dalam kitab Al-Lisaan dan kitab Al-Mishbaah. Biasanya laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya.[8]
Ditinjau dari sisi istilah syar’i artinya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah sebutan untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk menghindari tuduhan telah berbuat aib. Menurut pendapat madzhab Syafi’i, laqiith adalah setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut madzhab Hambali, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui nasabnya dan terlantar, atau tersesat di jalan.[9]
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat disimpukan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
2.   Sumber Hukum
Dasar hukum yang mendasari adanya anak pungut adalah:
a. QS. Al-Maidah ayat 32:
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya[10]
b. QS. Al-Maidah ayat 2:
 Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[11]
3.         Pandangan Ulama tentang Status dan hukum Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’[12]
Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT, karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama tentang hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
 Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua pungutnya. Selama anak pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari keluarga pungut berhak untuk menikahinya.

C.  Anak Zina
1.      Pengertian Anak Zina
Zina menurut Al-Jurnani adalah Memasukkan penis (zakar: Arab) ke dalam vagina (farj: Arab) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (kekeliruan/keserupaan).[13]
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina jika:
a. Adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
b. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan tersebut.
Dengan unsur pertama, maka jika ada dua orang yang berbeda jenis kelamin bary bermesraan seperti berciuman atau berpelukan belum dikatakan berzina yang dijatuhi hukum dera atau pun rajam. Tetapi mereka bisa dihukumi ta’zir dengan tujuan mendidik.[14]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan anak zina adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau kesalahan. Dengan demikian status anak zina bernasab kepada pihak ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
2.   Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman ayat 14 yaitu:
 Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.[15]
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama meyusui yang syari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun maka bayi yang lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah tidak dapat dikatakan anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan maka anak tersebut dapat dikatakan dengan anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah kedua orang tuanya bukan si anak. Sebagamana Hadits nabi SAW:
Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam (tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).[16]
Oleh karena itu, meskipun status anak tersebut adalah anak zina maka harus dididik secara Islami agar tidak terjerumus dalam lubang yang salah sebagaimana yang telah dialami oleh ‘kedua orangtua’nya.
3.      Pandangan Ulama Tentang Status dan Hukum Anak Zina
Menurut ulama, ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak zina dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
a. Hilangnya martabat Muhrim dalam keluarga.
Jika anak haram tersebut adalah perempuan, maka antara bapak (pemilik sperma) dengan anak tersebut dibolehkan menikah. Hal ini menurut pandangan imam malik dan Imam Syafii’ yaitu diperbolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina), saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannaya yang semuanya dari hasil zina.[17]
Mazhab Syi’ah Imamiyah, Hanafiah dan Hambaliah menyatakan haram menikahi anak hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram hukumnya menikahinya.[18] Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zhahir bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut hanya dilihat secara tradisi saja, namun secara syara’ yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan tersebut. Secara hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat bahwa orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya kelak ketika anaknya menikah.
b. Hilangnya hak waris dalam keluarga
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
Menurut Ahlul-Sunnah dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja. Sedangkan golongan Syi’ah menganggap bahwa anak zina tidak mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan karena warisan merupakan suatu nikmat bagi ahli waris sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan sehingga kenikmatan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.[19]
Sebagian ulama (Syafi’I, Hambali, Syi’ah) berpendapat bahwa akad nikah itu merupakan sebab utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang tuanya. Oleh karena itu jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan maka anak tersebut merupakan anak di luar nikah.
Maka salah satu jalan dari seorang bapak yang dia merasa bertanggung jawab dengan anaknya untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa melalui hibah semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak melebihi sepertiga dari jumlah hartanya.
D. Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung
1. Pengertian Inseminasi
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “Insimenation” yang artinya pembuahan/penghamilan secara teknologi.
Adapaun Proses Terjadinya Bayi Tabung/ Inseminasi Buatan
yaitu dokter mengambil telur (ovum) wanita dengan cara fungsi aspirasi cairan folikel melalui vagina, dengan alat yang disebut “Transpajinal Transkuler Ultra Sound” dan sperma dari laki-laki tersebut, juga diambil kemudian dipadukan.
Perpaduan kedua sel tersebut, lalu disimpan dalam cawan pembiakan selama beberapa hari. Inilah yang disebut dengan “Bayi Tabung” yaitu jabang bayi yang akan diletakan kedalam rahim seorang ibu dengan cara menggunakan alat semacam suntikan[[7]]
2. Sumber Hukum
a.  Qiyas (analogy)
            Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma, lalu nabi melarangnya,ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah itu beliau berpesan: “Lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian”.
b. Kaidah Hukum Fiqih Islam
Kaidah hukum fiqih islam “Al ashlu Fil Asya’ Al Ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang  jelas melarangnya. Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan, maka berarti hukumnya mubah.
3. Pandangan Ulama Tentang Hukum Inseminasi dan Status Anak Yang Dihasilkannya
Ada beberapa pandangan ulama tentang hukum inseminasi. Di antanya adalah
1. Haram, apabila hal itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum orang lain karena hukumnya disamakan dengan “Zina”. Hal itu didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda
 Tidak ada dosa yang lebih besar selain syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakan sperma (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.
Selain itu dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum mengharamkan Inseminasi buatan dengan donor ialah  Al-Qur’an surat Al Isro’ ayat 70
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di darat dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka  dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan yang telah kami ciptakan. [[8]]
           2. Boleh,  apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami atau istri sendiri, baik dengan cara pengambilan sperma suami, kemudian disuntikkan kedalam vagina atau uterus istri maupun dengan cara pembuahan diluar rahim. Kemudian ditanam didalam rahim istri, dengan alasan lain karena hal ini memang merupakan alternatif terakhir untuk memperoleh keturunan.
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqh islam, yaitu:
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergenci), sedangkan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang.
Atas dasar ini, untuk memenuhi kebutuhan dalam memperoleh keturunan dengan jalan inseminasi buatan “dibolehkan” karena terdapat faktor darurat yang akhirnya diberi dispensasi oleh agama.
Adapun  status anak hasil inseminasi, jika hal itu hasil inseminasi buatan dengan donor sperma atau ovum orang lain maka menurut hukum islam tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Sedangkan yang sah adalah apabila anak tersebut hasil inseminasi buatan dengan sperma dan ovum sendiri dari pernikahan atau perkawinan yang sah. Hal ini dapat kita ketahui dalam pasal 42 UU perkawinan No.1 tahun 1974 “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Terdapat persamaan yang dapat diambil antara anak angkat, anak pungut dan anak zina yaitu ketiganya tidak dapat dianggap sebagai anaknya sendiri meskipun penganggapan tersebut didasari oleh rasa sayang yang sepenuhnya. Persamaan yang lain adalah ketiga jenis anak ini tidak memiliki hak warisan dari keluarga yang memeliharanya dan dapat diberikan untuk mereka adalah hibah dan wasiat.
Perbedaan antara ketiganya adalah anak angkat merupakan anak yang dengan sengaja dipelihara bukan dikarenakan oleh menemukan atau memungutnya tetapi memang sengaja memeliharanya. Sedangkan anak pungut adalah anak yang dipelihara karena anak tersebut sudah disia-siakan dengan tujuan agar anak tersebut terselamatkan baik secara jiwa maupun secara agamanya.
Sedangkan anak zina merupakan anak yang secara lahiriah atau biologis merupakan anaknya namun secara syara’ merupakan orang lain, tidak memiliki nasab kepadanya.
Adapun status anak hasil inseminasi, jika hal itu hasil inseminasi buatan dengan donor sperma atau ovum orang lain maka menurut hukum islam tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil zina. Sedangkan yang sah adalah apabila anak tersebut hasil inseminasi buatan dengan sperma dan ovum sendiri dari pernikahan atau perkawinan yang sah






DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, (2004), Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz Ali Nur, Jakarta: Penerbit Darus-Sunnah.
Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Hukum Mengadopsi Anak, Majalah As-Sunnah Edisi 04/TAHUN XI/1428H/2007M.
Depag RI, (2002), Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Depag RI.
Depag RI, (2007),  Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, Jakarta: Syaamil Al-Qur’an.
www.bayi-tabung.com/proses/. Diakses pada tanggal 26/11/2012 pukul 20:51 WIB
Imah Tahido Yanggo, (2005), Masailul Fiqhiyah, Bandung: Angkasa.
Kamisa, (2005), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern , Jakarta: Balai Pustaka.
Masjfuk Zuhdi, (1993), Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung.
Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu.



[1]Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern , (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 13.
[2]Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hal. 9.
[3] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal. 418.
[4 ]Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 29.
[5]Ibid., hal. 28.

[6]Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh), hal. 321.
[7]Ibid.21
[8]Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hal.173.
[9]http://amaz95.wordpress.com/2010/05/13/anak-pungut/, diakses pada pukul 22:12 WIB tanggal 26 November 2012
[10]Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal.14



[11]Ibid., hal.22
[12] Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu., hal. 53-54.

[13] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 33.
[14]Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Libanon: Darl Fikar, 1981), hal. 369.
[15] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal.41
 [16] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 38
[17]Ibid., hal. 179.
[18]Ibid.hal. 123


[19]Ibid., hal. 180.
[7] www.bayi-tabung.com/proses/. Diakses pada tanggal 26/11/2012 pukul 20:51 WIB

[8] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal.41

 



1 komentar:

  1. salam. boleh saya tahu rujukan asal yang muktamad?trima kaseh.

    BalasHapus