Rabu, 28 November 2012

Kesenjangan Materi PAI



BAB II
PEMBAHASAN
A. Tantangan Era Globalisasi Terhadap anak bangsa
Salah satu tanda Negara kita, Indonesia, telah dimasuki pengaruh era global adalah hilangnya batas-batas informasi dan budaya negara lain yang masuk tanpa ada filter, tidak  perduli informasi dan budaya itu sesuai dengan ideologi negara kita atau tidak. Dampak dari itu, bangsa dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks, di antaranya:
(1), bangsa dihadapkan pada persaingan di segala bidang yang amat tinggi.
(2), kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menggeser nilai–nilai lama yang baik, dan timbul berbagai faham dan ideologi baru yang menyesatkan.
(3), terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, akibatnya banyak bencana alam yang sangat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan anak cucunya kelak.
(4), karena manusia yang cenderung hedonis, maka marak terjadi pelanggaran serta kenakalan remaja; pergaulan bebas, minuman keras, konsumsi narkoba, pelecehan seksual dan lain-lain.
(5) lemahnya nilai-nilai keimanan dalam jiwa bangsa sehingga pada saat dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, mereka berusaha lari dari kenyaatan, mencari ketenangan dengan mengkonsumsi obat-obat terlarang, bahkan tidak jarang yang  mengakhiri hidupnya di atas tiang gantungan.
Oleh sebab itu, Pendidikan Agama Islam merupakan satu-satunya jalan untuk memberikan sinar keimanan dan membekali mereka dengan ketaqwaan, serta mengembalikan mereka pada fitrahnya sebagi manusia yang beradab, baik beradab kepada diri sendiri, orang lain, alam sekitar terutama beradab kepada Allah SWT.
B. Kesenjangan Pendidikan Agama Islam
          Di sisi lain, Pendidikan Agama Islam yang diyakini mampu meminimalisir dan membendung rusaknya moral anak bangsa, saat ini masih ironi, sebab banyak ditemukan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan kita. Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat suatu analisa terkait dengan hal tersebut, guna mengetahui kesenjangan yang perlu dibenahi, dan merumuskan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam.
Untuk itu, sebagai langkah awal perlu diadakan analisa dari sisi kebutuhan, yaitu kebutuhan manusia dan kebutuhan dalam menejemen Pendidikan Agama Islam.
a. Analisa Kebutuhan Manusia
          Kebutuhan manusia ada dua kelompok utama, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar sebagaimana namanya berada di bawah posisi kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar ini berturut-turut dari bawah ke atas, yaitu; (1) kebutuhan fisiologis, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dll; (2) kebutuhan akan rasa aman; (3) kebutuhan untuk dicintai; (4) kebutuhan untuk dihargai. Sedangkan kebutuhan tumbuh, hirarkinya berada di sebelah atas posisi kebutuhan dasar, berturut-turut dari bawah ke atas: (5) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (belajar); (6) kebutuhan keindahan; (7) kebutuhan aktualisasi diri.[1]
          Kebutuhan yang berada di hierarki lebih tinggi baru akan dirasakan bila kebutuhan yang ada di hierarki lebih bawah telah terpenuhi. Bila tidak terjadi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sesuai hirarki tersebut maka akan muncul kesenjangan. Kesenjangan semacam ini yang menjadi permasalahan hidup yang harus dipecahkan.
b. Analisa Kebutuhan dalam Menejemen Pendidikan Agama Islam
          Dari segi kebutuhan menejemen, Pendidikan Agama Islam masih ditemukan beberapa kelemahan, di antaranya;‎‎[2]
 1. Kebutuhan kondisi pembelajaran yang meliputi tujuan, kendala-kendala dalam pembelajaran, seperti keterbatasan materi, keterbatasan waktu, keterbatasan media, keterbatasan personalia, dan keterbatasan dana, serta karakteristik peserta didik, semuanya masih kurang ada perhatian.
2. Kebutuhan strategi pembelajaran, yang meliputi: strategi pengorganisasian, penyampaian pelajaran dan pengelolaan. Ini juga sangat terbatas sekali.
3.  Kebutuhan hasil pembelajaran yang meliputi: efektifitas, efisiensi dan daya tarik.
          Kebutuhan-kebutuhan semacam inilah yang harus dipenuhi dalam mengatur Pendidikan Agama Islam, sehingga apabila semuanya telah terpenuhi dengan baik maka dinamika proses pembelajran akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
           Selama ini Pendidikan Agama Islam di sekolah formal masih ada kesenjangan dengan kondisi yang seharusnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa indikator, di antaranya:
1. Masih banyak anak yang telah belajar agama selama 12 tahun, tetapi umumnya tidak mampu membaca al Qur’an dengan baik.
2. Tidak menjalankan ibadah dengan baik, shalatnya sering ditinggalkan, ramadlan tidak pernah berpuasa, suka tawuran, minuman keras, pergaulan bebas dan tindakan asusila.
4. Tidak berakhlak terhadap guru dan orang tua, tidak patuh terhadap perintah guru dan orang tua, bahkan melupakan sama sekali terhadap jasa-jasa mereka.
          Mengapa hal ini bisa terjadi? Factor-faktor penyebabnya diantaranya adalah materi Pendidikan Agama Islam terlalu akademis, banyak pengulangan yang tidak perlu. Kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dengan menyampingkan ranah psikomotorik dan afektif.[3] Pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic serta bersifat legal formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya.
C. Dikotomi ilmu
          Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam regulasi terjadinya kesenjangan Pendidikan Agama Islam adalah terjadinya dikotomi ilmu. Dalam konteks sejarah Indonesia, dikotomi ilmu muncul sejak penjajahan belanda yang berkepentingan untuk menjajah Indonesia. Mereka menebarkan kesan adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga menjadi paradigma umum di tengah masyarakat Indonesia; ilmu agama adalah urusan akhirat sedang ilmu umum urusan dunia. Akibatnya, orang yang belajar ilmu agama biasanya menjadi minim pengetahuan umumnya dan yang belajar pengetahuan umum minim ilmu agamanya. Sehingga banyak ditemukan orang pintar dan cerdas menjadi koruptor ulung, suka menipu, dan tidak jarang ditemukan orang ahli agama dipermainkan oleh para koruptor, menjadi sasaran para penipu. Inilah satu kesenjangan yang sangat tidak diharapkan oleh bangsa kita.
Fenomena yang paling nampak dari dekotomi ilmu ini adalah berdirinya dualisme lembaga pendidikan yaitu sekolah umum dan sekolah agama. Sekolah agama berada di bawah naungan Kemenag (Kementrian Agama), sedang sekolah umum di bawah naungan Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional). Ternyata dikotomi ini tidak hanya terbatas ke mana dua alur pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan, bahkan anggaran APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding pendidikan agama. Dampak yang bisa dirasakan salah satunya adalah apa yang terjadi di masyarakat kita, banyak orang ambil jalan pintas untuk mendapatkan sebuah formalitas dengan cara-cara yang instan, praktis, ekonomis, tidak mengikuti jalur pemerintah; wajib belajar sembilan tahun. Sehingga, (maaf) banyak dikalangan orang yang sudah menyandang gelar Sarjana Pendidikan Islam tapi buta akan syari’at Islam, bahkan terkadang  baca al-quran saja kurang  bisa.[4]
D. Langkah antisipasi
          maka salah satu solusinya adalah perlu diadakan kegiatan berupa pengembangan materi dalam kurikulum pembelajaran yang berkelanjutan, yang bermuatan keimanan dan ketaqwaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mulai dari jenjang yang lebih rendah; TK & RA, SD & MI, SLTP & MTs, dan SMU & MA sampai perguruan tinggi. Upaya tersebut diharapkan dapat dijadikan model bagi guru dan pelaksana pendidikan di lapangan untuk menghasilkan bangsa Indonesia yang unggul dan utuh serta profesional‎. Bukan hanya cerdas intlektualnya tapi juga spiritualnya.
Adapun pengembangan tersebut  meliputi;
a. Materi Pembelajaran Agama Islam
          Disamping perlu adanya reformulasi materi-materi Pendidikan Agama Islam yang selama ini menjebak pada ranah kognitif dengan mengabaikan ranah psikomotorik dan afektif, materi Pendididkan Agama Islam hendaknya lebih banyak pada penekanan amaliah dan pembiasaan serta penciptaaan lingkingan yang agamis, sehingga Pendidikan Agama Islam mampu menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
b. Strategi Pembelajaran
          Tujuan pembelajaran agama Islam yang harus dirumuskan dengan bentuk behavioral atau berbentuk tingkah laku yang bisa diukur. Hal ini membutuhkan strategi pembalajaran yang khusus. Strategi di sini adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh guru dengan sengaja yang meliputi metode, materi, sarana prasarana, media dan lain sebagainya agar siswa dipermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
c.  Metode Pembelajaran Agama Islam
          Pendidikan agama Islam sebenarnya tidak hanya cukup dilakukan dengan pendekatan teknologik, karena aspek yang dicapai tidak cukup kognitif tetapi justru lebih dominan yang afektif dan psikomotorik, maka perlu pendekatan yang bersifat nonteknologik. Pembelajaran tentang akidah dan akhlak lebih menonjolkan aspek nilai, baik ketuhanan maupun kemanusiaan yang hendak ditanamkan dan dikembangkan pada diri siswa sehingga dapat melekat menjadi sebuah kepribadian yang mulia.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai yaitu:
 a),tradisional, maksudnya dengan memberikan nasehat dan indoktrinasi.
b), bebas, maksudnya siswa diberi kebebasan nilai yang disampaikan.
c), reflektif, maksudnya bervariasi dari pendekatan teoritik ke empiric,
d), transiternal, maksudnya guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif tidak hanya verbal dan fisik tetapi juga melibatkan komunikasi batin.[5]
d. Sumber Daya Guru Agama
          Meningkatkan motivasi dan etos kerja guru, maka faktor pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Ada beberapa tingkat kebutuhan manusia kaitannya dengan peningkatan motivasi dalam tugasnya sebagai guru yaitu; kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berkuasa, kebutuhan untuk berafiliasi. Bila ketiga kebutuhan terpenuhi maka motivasi dan etos kerja seorang guru akan tumbuh dan berkembang sebagimana yang diharapkan.[6]
          Dengan motivasi dan etos kerja yang tinggi guru agama akan menjadi penggerak penjiwaan dan pengalaman agama yang mencerminkan pribadi yang taqwa, berakhlaq mulia, luhur dan menempati perananan suci dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Maka dibutuhkan guru yang mencintai jabatannya, bersikap adil, sabar tenang, menguasai metode dan kepemimpinan, berwibawa, gembira, manusiawi dan dapat bekerja sama dengan masyarakat.
 Dan tentunya dalam hal ini juga perlu melibatkan guru bidang studi lain dengan menunjukkan keteladanan bagi siswa sebagai seorang yang beragama yang baik. Sehingga, apabila ada peserta didik yang terlibat narkoba, misalnya, merusak lingkungan, maka hal itu bukan merupakan kegagalan guru PAI saja, tetapi juga merupakan kegagalan dari guru IPA, IPS dan PPKn. Bila ada siswa yang suka hidup boros, itu juga kegagalan guru matematika dan ekonomi.
e. Fasilitas dan Media Pengajaran
Salah satu faktor yang dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah formal saat ini adalah: tempat ibadah (masjid atau musholla), ruang bimbingan dan penyuluhan agama, laboratorium keagamaan dan computer berbasis internet. Laboratorium tidak hanya dibutuhkan untuk pembelajaran ilmu bahasa dan ilmu eksakta saja, tetapi semua materi pelajaran juga membutuhkan laboratorium termsuk pelajaran agama Islam.






BAB III
A. Kesimpulan
Salah satu langkah awal untuk mengetahui kesenjangan Pendidikan Agama Islam dalam dunia pendidikan kita adalah melakukan analisa kebutuhan manusia dan kebutuhan dalam menejemen Pendidikan Agama Islam. Yang menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan itu adalah terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu umum dan ilmu agama, dimana keduanya bergerak di bawah naungan kekuasaan yang berbeda.
Maka, salah satu antisipasi mengurangi arus perbedaan yang berdampak pada kesenjangan tersebut, perlu adanya kerja sama guru agama dengan guru mata pelajaran lain, profesionalitas pimpinan sekolah, kurikulum yang baik, metode yang tepat; di antaranya metode praktek, materi pembiasaan, shalat duha, sholat dzuhur berjamaah, kelengkapan sarana dan prasarana.



     [1] Moh. Fauzi MST, Panduan belajar Sosiologi:,cet.1,  Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008, hal.6
     [2]Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Jakarta:Granit, 2004, hl. 11
       [3] Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta. Rajakrafindo. 2009. Hal.21

     [4] M. Mashuri Mochtar. Islam Tak Mengenal Dikotomi Ilmu. Buletin Sidogiri. Edisi: 61. Jumadats Tsaniyah 1432 H, hal. 14
     [5] Nata Abuddin.2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Gaya Media Pratama. Hal.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar