BAB II
PEMBAHASAN
A. Tantangan Era Globalisasi Terhadap anak bangsa
Salah satu
tanda Negara kita, Indonesia, telah dimasuki pengaruh era global adalah hilangnya
batas-batas informasi dan budaya negara lain yang masuk tanpa ada filter, tidak
perduli informasi dan budaya itu sesuai dengan ideologi negara kita atau tidak. Dampak dari itu, bangsa dihadapkan pada tantangan
yang semakin kompleks, di antaranya:
(1), bangsa dihadapkan
pada persaingan di segala bidang yang amat tinggi.
(2), kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menggeser nilai–nilai lama yang
baik, dan timbul berbagai faham dan ideologi baru yang
menyesatkan.
(3), terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, akibatnya
banyak bencana alam yang sangat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan anak
cucunya kelak.
(4), karena manusia yang cenderung hedonis, maka marak terjadi pelanggaran serta kenakalan
remaja; pergaulan bebas, minuman keras, konsumsi narkoba, pelecehan seksual
dan lain-lain.
(5) lemahnya nilai-nilai keimanan dalam jiwa bangsa sehingga pada saat
dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,
mereka berusaha lari dari kenyaatan, mencari ketenangan dengan mengkonsumsi
obat-obat terlarang, bahkan tidak jarang yang mengakhiri hidupnya di atas tiang gantungan.
Oleh sebab itu, Pendidikan Agama Islam merupakan
satu-satunya jalan untuk memberikan sinar keimanan dan membekali mereka dengan
ketaqwaan, serta mengembalikan mereka pada fitrahnya sebagi manusia yang
beradab, baik beradab kepada diri sendiri, orang lain, alam sekitar terutama
beradab kepada Allah SWT.
B. Kesenjangan Pendidikan Agama
Islam
Di sisi lain, Pendidikan
Agama Islam yang diyakini mampu meminimalisir dan membendung rusaknya moral anak
bangsa, saat ini masih ironi, sebab banyak ditemukan kesenjangan antara harapan
dan kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan kita. Oleh sebab itu, penulis
mencoba membuat suatu analisa terkait dengan hal tersebut, guna mengetahui
kesenjangan yang perlu dibenahi, dan merumuskan langkah strategis untuk
meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam.
Untuk itu, sebagai langkah awal perlu diadakan
analisa dari sisi kebutuhan, yaitu kebutuhan manusia dan kebutuhan dalam
menejemen Pendidikan Agama Islam.
a. Analisa
Kebutuhan Manusia
Kebutuhan manusia ada dua kelompok utama, yaitu kebutuhan dasar
dan kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar sebagaimana namanya berada di
bawah posisi kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar ini berturut-turut dari bawah ke atas, yaitu;
(1) kebutuhan fisiologis, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dll; (2)
kebutuhan akan rasa aman; (3) kebutuhan untuk dicintai; (4) kebutuhan untuk dihargai.
Sedangkan kebutuhan tumbuh, hirarkinya berada di sebelah atas posisi kebutuhan dasar,
berturut-turut dari bawah ke atas: (5) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami
(belajar); (6) kebutuhan keindahan; (7) kebutuhan aktualisasi diri.[1]
Kebutuhan yang berada di
hierarki lebih tinggi baru akan dirasakan bila kebutuhan yang ada di hierarki lebih bawah
telah terpenuhi. Bila tidak terjadi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sesuai
hirarki tersebut maka akan muncul kesenjangan. Kesenjangan semacam ini yang menjadi permasalahan hidup yang harus
dipecahkan.
b. Analisa
Kebutuhan dalam Menejemen Pendidikan Agama Islam
Dari segi kebutuhan menejemen,
Pendidikan Agama Islam masih ditemukan beberapa kelemahan, di antaranya;[2]
1. Kebutuhan kondisi pembelajaran yang
meliputi tujuan, kendala-kendala dalam pembelajaran, seperti keterbatasan
materi, keterbatasan waktu, keterbatasan media, keterbatasan personalia, dan
keterbatasan dana, serta karakteristik peserta didik, semuanya masih kurang ada
perhatian.
2. Kebutuhan strategi pembelajaran, yang meliputi: strategi
pengorganisasian, penyampaian pelajaran dan pengelolaan. Ini juga sangat terbatas sekali.
3. Kebutuhan hasil pembelajaran yang meliputi:
efektifitas, efisiensi dan daya tarik.
Kebutuhan-kebutuhan semacam
inilah yang harus dipenuhi dalam mengatur Pendidikan Agama Islam, sehingga
apabila semuanya telah terpenuhi dengan baik maka dinamika proses pembelajran
akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Selama ini Pendidikan Agama Islam di sekolah
formal masih ada kesenjangan dengan kondisi yang seharusnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan beberapa indikator, di antaranya:
1. Masih banyak anak yang telah belajar agama selama 12 tahun, tetapi
umumnya tidak mampu membaca al Qur’an dengan baik.
2. Tidak menjalankan ibadah dengan baik, shalatnya sering ditinggalkan,
ramadlan tidak pernah berpuasa, suka tawuran, minuman keras, pergaulan bebas
dan tindakan asusila.
4. Tidak berakhlak terhadap guru dan orang tua, tidak patuh terhadap
perintah guru dan orang tua, bahkan melupakan sama sekali terhadap jasa-jasa
mereka.
Mengapa hal ini bisa
terjadi? Factor-faktor penyebabnya diantaranya adalah materi Pendidikan
Agama Islam terlalu akademis, banyak pengulangan yang tidak perlu. Kegiatan
pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dengan menyampingkan ranah
psikomotorik dan afektif.[3] Pendidikan agama masih berpusat pada
hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic serta bersifat legal
formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya.
C. Dikotomi ilmu
Salah satu faktor yang
memegang peranan penting dalam regulasi terjadinya kesenjangan Pendidikan Agama
Islam adalah terjadinya dikotomi ilmu. Dalam konteks sejarah Indonesia,
dikotomi ilmu muncul sejak penjajahan belanda yang berkepentingan untuk
menjajah Indonesia. Mereka menebarkan kesan adanya pemisahan antara ilmu agama
dan ilmu umum, sehingga menjadi paradigma umum di tengah masyarakat Indonesia;
ilmu agama adalah urusan akhirat sedang ilmu umum urusan dunia. Akibatnya, orang
yang belajar ilmu agama biasanya menjadi minim pengetahuan umumnya dan yang belajar
pengetahuan umum minim ilmu agamanya. Sehingga banyak ditemukan orang pintar
dan cerdas menjadi koruptor ulung, suka menipu, dan tidak jarang ditemukan
orang ahli agama dipermainkan oleh para koruptor, menjadi sasaran para penipu.
Inilah satu kesenjangan yang sangat tidak diharapkan oleh bangsa kita.
Fenomena yang paling nampak dari dekotomi ilmu
ini adalah berdirinya dualisme lembaga pendidikan yaitu sekolah umum dan
sekolah agama. Sekolah agama berada di bawah naungan Kemenag (Kementrian
Agama), sedang sekolah umum di bawah naungan Kemendiknas (Kementrian Pendidikan
Nasional). Ternyata dikotomi ini tidak hanya terbatas ke mana dua alur
pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan,
bahkan anggaran APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding pendidikan
agama. Dampak yang bisa dirasakan salah satunya adalah apa yang terjadi di masyarakat
kita, banyak orang ambil jalan pintas untuk mendapatkan sebuah formalitas
dengan cara-cara yang instan, praktis, ekonomis, tidak mengikuti jalur
pemerintah; wajib belajar sembilan tahun. Sehingga, (maaf) banyak dikalangan
orang yang sudah menyandang gelar Sarjana Pendidikan Islam tapi buta akan
syari’at Islam, bahkan terkadang baca
al-quran saja kurang bisa.[4]
D. Langkah antisipasi
maka
salah satu solusinya adalah perlu diadakan kegiatan berupa pengembangan
materi dalam kurikulum pembelajaran yang berkelanjutan, yang bermuatan keimanan
dan ketaqwaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mulai dari jenjang
yang lebih rendah; TK & RA, SD & MI, SLTP & MTs, dan SMU & MA sampai
perguruan tinggi. Upaya tersebut diharapkan dapat dijadikan model bagi guru dan
pelaksana pendidikan di lapangan untuk menghasilkan bangsa Indonesia yang unggul dan
utuh serta profesional. Bukan hanya cerdas intlektualnya tapi juga
spiritualnya.
Adapun
pengembangan tersebut meliputi;
a. Materi
Pembelajaran Agama Islam
Disamping perlu adanya reformulasi materi-materi Pendidikan Agama Islam
yang selama ini menjebak pada ranah kognitif dengan mengabaikan ranah psikomotorik dan afektif, materi Pendididkan
Agama Islam hendaknya lebih banyak pada penekanan amaliah dan pembiasaan serta
penciptaaan lingkingan yang agamis, sehingga Pendidikan Agama Islam mampu
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
b.
Strategi Pembelajaran
Tujuan pembelajaran agama
Islam yang harus dirumuskan dengan bentuk behavioral atau berbentuk tingkah laku yang
bisa diukur. Hal ini membutuhkan strategi pembalajaran yang khusus.
Strategi di sini adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh guru dengan sengaja yang
meliputi metode, materi, sarana prasarana, media dan lain sebagainya agar
siswa dipermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
c. Metode Pembelajaran Agama Islam
Pendidikan agama Islam
sebenarnya tidak hanya cukup dilakukan dengan pendekatan teknologik, karena aspek
yang dicapai tidak cukup kognitif tetapi justru lebih dominan yang afektif
dan psikomotorik, maka perlu pendekatan yang bersifat nonteknologik. Pembelajaran
tentang akidah dan akhlak lebih menonjolkan aspek nilai, baik ketuhanan maupun
kemanusiaan yang hendak ditanamkan dan dikembangkan pada diri siswa
sehingga dapat melekat menjadi sebuah kepribadian yang mulia.
Ada beberapa
strategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai yaitu:
a),tradisional, maksudnya dengan memberikan
nasehat dan indoktrinasi.
b), bebas,
maksudnya siswa diberi kebebasan nilai yang disampaikan.
c), reflektif,
maksudnya bervariasi dari pendekatan teoritik ke empiric,
d), transiternal, maksudnya guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses
komunikasi aktif tidak hanya verbal dan fisik tetapi juga melibatkan komunikasi batin.[5]
d. Sumber Daya Guru
Agama
Meningkatkan motivasi dan
etos kerja guru, maka faktor pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Ada
beberapa tingkat kebutuhan manusia kaitannya dengan peningkatan motivasi dalam tugasnya
sebagai guru yaitu; kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk
berkuasa, kebutuhan untuk berafiliasi. Bila ketiga kebutuhan terpenuhi maka motivasi dan etos
kerja seorang guru akan tumbuh dan berkembang sebagimana yang diharapkan.[6]
Dengan motivasi dan etos
kerja yang tinggi guru agama akan menjadi penggerak penjiwaan dan pengalaman agama
yang mencerminkan pribadi yang taqwa, berakhlaq mulia, luhur dan menempati
perananan suci dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Maka dibutuhkan guru yang
mencintai jabatannya, bersikap adil, sabar tenang, menguasai metode dan kepemimpinan,
berwibawa, gembira, manusiawi dan dapat bekerja sama dengan masyarakat.
Dan tentunya dalam hal ini juga perlu
melibatkan guru bidang studi lain dengan menunjukkan keteladanan bagi siswa sebagai seorang
yang beragama yang baik. Sehingga, apabila ada peserta didik yang terlibat
narkoba, misalnya, merusak lingkungan, maka hal itu bukan merupakan kegagalan
guru PAI saja, tetapi juga merupakan kegagalan dari guru IPA, IPS dan PPKn.
Bila ada siswa yang suka hidup boros, itu juga kegagalan guru matematika dan
ekonomi.
e. Fasilitas dan
Media Pengajaran
Salah satu faktor yang dibutuhkan dalam
peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah formal saat ini adalah:
tempat ibadah (masjid atau musholla), ruang bimbingan dan penyuluhan agama,
laboratorium keagamaan dan computer berbasis internet. Laboratorium tidak hanya dibutuhkan untuk
pembelajaran ilmu bahasa dan ilmu eksakta saja, tetapi semua materi
pelajaran juga membutuhkan laboratorium termsuk pelajaran agama Islam.
BAB III
A. Kesimpulan
Salah satu langkah awal untuk mengetahui kesenjangan
Pendidikan Agama Islam dalam dunia pendidikan kita adalah melakukan analisa
kebutuhan manusia dan kebutuhan dalam menejemen Pendidikan Agama Islam. Yang
menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan itu adalah terjadinya dikotomi ilmu
pengetahuan antara ilmu umum dan ilmu agama, dimana keduanya bergerak di bawah
naungan kekuasaan yang berbeda.
Maka, salah satu antisipasi mengurangi arus
perbedaan yang berdampak pada kesenjangan tersebut, perlu adanya kerja sama
guru agama dengan guru mata pelajaran lain, profesionalitas pimpinan sekolah,
kurikulum yang baik, metode yang tepat; di antaranya metode praktek, materi
pembiasaan, shalat duha, sholat dzuhur berjamaah, kelengkapan sarana dan prasarana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar